ARUSBAWAH.CO - Komisi IV DPRD Samarinda turut menindaklanjuti laporan dugaan malpraktik medis yang dialami oleh seorang warga berinisial RK.
Hal ini dibahas dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar pada Kamis (8/5/2025) di Ruang Rapat Utama DPRD Samarinda.
Dalam forum tersebut, hadir sejumlah pihak penting seperti Dinas Kesehatan Kota Samarinda, manajemen RSUD IA Moeis, dan perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Sri Puji Astuti, Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, menjelaskan bahwa aduan ini awalnya masuk ke Komisi I sebelum akhirnya dialihkan ke Komisi IV untuk ditangani lebih lanjut.
“Kami baru bisa menindaklanjuti setelah menelaah laporan yang masuk. Setelah rapat internal, kami putuskan untuk memanggil seluruh pihak terkait,” ujar Puji.
RK, bersama kuasa hukumnya, menyampaikan kronologi panjang kasusnya yang terjadi sejak Oktober 2024 hingga April 2025. Pasien sebelumnya ditangani oleh Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) sebelum dirujuk ke RSUD IA Moeis.
Menurut Puji, seharusnya kuasa hukum lebih dahulu melayangkan somasi kepada rumah sakit yang pertama menangani, yaitu RSHD. Bila tidak ada respons, barulah laporan dapat diajukan ke IDI yang memiliki mekanisme internal seperti Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
“Sayangnya, pelapor langsung datang ke DPRD. Jadi kami panggil semua pihak, termasuk BPJS untuk mengurai kasus ini secara menyeluruh,” lanjut Puji.
Puji menegaskan, penyelesaian kasus ini penting karena bisa membuka ruang bagi masyarakat lain untuk bersuara jika mengalami perlakuan serupa. Ia juga telah meminta Dinas Kesehatan agar RSUD IA Moeis melanjutkan penanganan medis terhadap RK.
RSUD IA Moeis menyatakan siap membantu proses pengobatan lanjutan. Namun, menurut Puji, penyelidikan tetap diperlukan untuk memastikan penyebab pasti dari gejala yang diderita RK.
“Gejala sisa ini harus ditelusuri lebih lanjut, apakah murni akibat dari operasi sebelumnya atau karena penyakit lain yang belum terdeteksi,” jelasnya.
Audit internal terhadap dokter yang menangani RK dijadwalkan akan dilakukan IDI dalam waktu dekat. Komisi IV juga akan melakukan evaluasi lanjutan usai hasil audit keluar.
Isu lainnya yang turut disorot adalah sistem layanan BPJS yang dianggap terlalu kaku, apalagi menjelang penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada Juni mendatang.
Puji juga menyinggung dugaan kelalaian di RSHD, di mana saat kejadian, tidak ada dokter jaga dan diagnosa awal hanya disampaikan oleh perawat. Ia menilai, hal tersebut bisa masuk kategori malpraktik jika terbukti tidak sesuai prosedur medis.
Pemeriksaan laboratorium seperti darah, urin, dan USG, menurutnya, harus bisa dibuktikan dilakukan sebelum operasi.
“USG pun idealnya dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam, lalu dikonsultasikan ke dokter bedah,” imbuh Puji.
Sementara itu, kuasa hukum dari pasien yang diduga alami malpraktik di RSHD, Titus Tibayan Pakalla mengungkap bahwa operasi dilakukan tanpa prosedur standar seperti tes darah dan urin, serta tanpa transparansi terhadap rekam medis.
“Yang kami sesalkan adalah kenapa pasien harus dipaksa operasi, padahal klien kami tidak punya uang sepeser pun. Tidak ada hasil USG atau rekam medis yang diperlihatkan. Ini bentuk pemaksaan medis dan pelanggaran hak pasien.” ungkap Titus.
Titus mengatakan, pascaoperasi, kondisi pasien justru memburuk.
Ia mengalami demam, muntah, dan tidak diterima kembali saat hendak dirawat ulang di rumah sakit yang sama.
Bahkan, rujukan menyatakan pasien stabil meski dibawa dalam kondisi lemah.
“Dia dibawa pakai ambulans dalam kondisi setengah sadar. Tapi surat rujukannya bilang pasien stabil dan menolak dirawat. Padahal justru perawat yang menyuruh pindah rumah sakit Ini manipulasi fakta, dan sangat kami sayangkan.” lanjut Titus. (adv)